Review Novel: Mantra Pejinak Ular - Kuntowijoyo

novel mantra pejinak ular

Kisah Ular awalnya saya pikir akan menjadi fokus utama dalam cerita ini. Rupanya tidak. Cerita menuju tengah halaman lebih seru: tentang bab mesin politik.

Mulanya, kisah yang menceritakan kelahiran Abu Kasan Sapari yang tumbuh di lingkungan yang mengedepankan kesenian terutama dalang. Kakeknya mendidiknya untuk Sekolah Jawa (Sekolah Angka Loro) dan mengaji di Masjid.

Disana Abu kecil belajar apa saja (istilahnya nyantrik): membersihkan gamelan, menggotong gamelan, melihat orang belajar dalang, melihat orang menata wayang, mendengarkan gamelan di tabuh.

Ketekunannya itu membawanya jadi dalang cilik sejak kelas 5, SMP dan SMA mewakili sekolahnya menjuarai juara dalang cilik se-eks Karesidenan Surakarta.

Sastra profetik Kuntowijoyo juga menulis tentang Hajar Aswad batu istimewa yang ada di Ka'bah.

Kritik sastra mulai diperkenalkan saat menyindir gaya orang memerintah, seperti gaya gajah, gaya kuda dan gaya anjing.

Gajah itu meskipun tubuhnya besar tapi mudah dididik. Ada gajah bisa dididik main bola, mengangkat balok kayu, atau duduk di kursi. Dengan upah permen coklat gajah bisa disuruh apa saja. Maka ada istilah "sepak bola gajah: karena orang bermain bola atas dasar pesanan. Gajah itu seperti orang bodoh, tidak punya kemauan sendiri. Jadi memerintah gaya gajah itu ialah cara memerintah dengan membodohi rakyat. Rakyat tidak punya kemauan, yang punya kemauan ialah yang memerintah.

Gaya kuda seperti yang dilaksanakan Pak Lurah berdasarkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan-demikian menurut dosen  Penatar P-4 dulu -antara yang diperintah dan yang memerintah. Umpamanya, warga berpikir bahwa sudah waktunya ada kerja bakti memperbaiki jalan, lurah harus dapat menangkap isyarat itu. 

Nah, gaya anjinglah yang paling menyusahkan. Kata kawan saya, anjing itu manjanya bukan main. Kalau pagi harus jalan-jalan, ada makanan khusus untuk anjing, ada sikat bulu khusus, dimandikan, kalau sakit harus dibawa ke dokter. Ada pepatah Jawa yang menunjukkan bahwa anjing itu sama dengan raja. Orang yang pekerjaannya makan dan tidur akan dibilang, makan seperti raja tidur seperti anjing. Kalau jadi lurah, jangan memanjakan masyarakat. Nanti seperti mengasuh anjing jadinya, kita bukannya memerintah, tetapi jadi budak. Pemimpin itu harus punya visi, mampu melihat ke depan. 

Yang paling dramatis, saat Abu Kasan bercerita. Di kalimat pertama: 

Dengan kudanya, mendekati pasar di dekat kantor kecamatan. Ternyata saat sedang makan di warung, ada yang mengagetkan manakala ular dipotong-potong, direbus. Dan Abu Kasan Sapari sudah mendengar, dan tidak sampai hati melihat potongan-potongan itu.

"Tidak dihabiskan?" 

"Sudah kenyang." 

Hal lain yang unik adalah Abu Kasan yang penyayang kepada binatang. 

Ia terduduk di tepi jalan. Merenungi nasib ular yang sial itu. Pelan-pelan air matanya membasahi pipi. Bayangkan. Ular itu punya anak-anak. Ia sedang dalam perjalanan mengunjungi anak-anaknya sebab sudah janji. Tapi tiba-tiba orang menangkapnya, mengurut badannya sampai remuk tulangnya. Lalu dipotong-potong badannya. Kemudian direbus dalam dandang di atas air mendidih. Diberi garam, bawang dan merica. Anak-anaknya masih menunggu. Tetapi, induknya tidak pernah akan datang, sudah jadi potongan-potongan. Abu tidak bisa menahan tangisnya. (hlm 52)

Dia bak penyuluh lingkungan yang berceramah dari satu tempat ke tempat lain guna memelihara lingkungan. Pesannya, "Pokoknya jangan memusuhi. Kalau kita tidak mengganggu ular, ular juga tidak akan mengganggu kita. Manusia dan ular punya dunia sendiri-sendiri. Ular punya dunia, manusia punya dunia. Biarkan sungai mengalir, biarkan burung terbang, biarkan ular berdesir." (hlm 58)

membaca buku kuntowijoyo

Ada juga skenario saat mendalang yang bisa dibaca di buku ini.Dijelaskan pula bahwa kesenian itu berbeda dengan kekuasaan. Kesenian membujuk, kekuasaan memaksa. Kesenian berbicara dengan lambang, kekuasaan thok-lek. 

Di Kemuning, 9 lurah habis masa jabatannya dan Pilkades dilaksanakan serentak di seluruh kecamatan. 

Dalam buku ini awalnya bercerita tentang ular, dalang, dan akhirnya politik. Kuntowijoyo menulis dari sudut pandang tokoh utama -Abu Kasan Sapari yang sering bertemu dengan wartawan dan dia mengatakan banyak hal menarik perlu diberitakan, seperti campur tangan mesin politik, adanya botoh dan peran dukun dalam Pilkades. 

Dia bisa bertemu dengan wartawan muda yang muda dan bersemangat; dia tahu jurnalisme adalah alat memperjuangkan keadilan dan demokrasi. 

Novel yang mengisahkan politik dengan detail bagaimana dia bisa hadir dalam acara wayangan dan mendalang karena diundang oleh seorang calon lurah. Tapi banyak yang tidak menonton, digambarkan di ceritanya (hlm 105-106). Mereka menerima uang, tetapi mereka mendengar pidato calon lurah dari rumah-rumah. 

Tapi makin malam untunlah makin mbuldag sampai jalanan. 

Setting cerita di Gunung Lawu. Karena saya pernah kesana--ke rumah teman saya, maka Gunung Lawu berkesan untuk saya karena ada Tawangmangu. Tempatnya indah, dan bisa ngadem. 



Yang miris, dikisahkan bahwa untuk menjadi pejabat ada yang rela datang ke dukun dan yakin bisa menang. Padahal banyak juga saat ini yang gagal jadi pejabat dan menghabiskan banyak uang. Di dalam cerita tersebut Kuntowijoyo hendak menceritakan bahwa banyak hal yang menurut logika tidak masuk akal, tapi bagi sebagian besar orang ada yang masih terjerat hal syirik seperti itu--semoga kita dijauhkan dari sifat seperti itu. Karena awalnya saja sudah salah, misal menyuap, datang ke dukun dan berharap menang dari sana naudzubillah dosa pula yang didapat karena percaya pada dukun bisa tidak diterima shalatnya selama 40 hari. 

Dalam novel ada sebuah pembelajaran, ironi, dan kritik yang ingin Kuntowijoyo sampaikan. Selanjutnya bagaimana pembaca dapat mengambil tindakan yang tepat. []


DATA BUKU 

Judul Buku: Mantra Pejinak Ular 

Penulis: Kuntowijoyo 

Cetakan: 2, September 2013 

Penerbit: : Penerbit Buku Kompas 

Tebal: 274 halaman 

ISBN: 978-9797-097-431

No comments