Review Buku: Novel Ulid - Mahfud Ikhwan yang Menghibur



Kisah Ulid, Muhammad Maulid yang membuat saya terkenang dengan masa kanak-kanak yang lugu, polos dan apa adanya. Membaca kisah Ulid mampu membuat saya terhibur dan juga mengenang masa lalu saat zaman terkenal radio dan televisi--belum ada internet. Kelakuan bocah Ulid dan kawan-kawannya yang kerap terjadi keseharian dan dekat dengan kehidupan kita. Saya bisa membayangkan keseruan masa kecil anak-anak Indonesia yang saat ini telah mulai terkikis. 

Buku terbitan Shira Media ini telah dicetak 3 kali, yang pertama tahun 2009 oleh Jogja Bangkit Publisher, Cetakan II oleh Pustaka Ifada di tahun 2015, dan cetakan ke-III tahun 2021.

Kisah pertama yang berkesan adalah saat Ulid membantu Ayahnya menyembunyikan tumpukan kayu agar tak ketahuan sinder. Saat sinder datang, tak ada tumpukan kayu dan Ulid bisa melihat Ayahnya tersenyum pada sinder. 

Ini semua lantaran hampir semua yang memiliki kayu dan tungku telah memindahi kayu jati yang mereka punya, sehingga kayu dipendam agar tak ketahuan sinder dan kalau ketahuan akan dihukum.

Yang lucu terkadang Mahfud Ikhwan, penulis mampu meramu tulisan menghibur pembaca dengan tingkah Ulid yang polos dan kritis, dikemas dengan ringan dan segar. Coba lihat kalimat ini: 

"Mak?" 

"Apa?"

"Matang tidak, Mak?" 

"Anak kecil kok ingin tahu saja." 

Ulid sakit hati sekali dengan kalimat itu. Mengapa anak kecil tidak boleh tahu? Apakah yang boleh tahu hanya orang-orang dewasa saja? (halaman 32) 


Saya tertawa, karena Ulid ingin tahu panen gamping bila sukses dikatakan "matang" dan Ulid bertanya matang atau mentah Mak?  ~ Hahaha. 

Tarmidi, Ayah Ulid sehari-hari mengajar di sebuah MI, tiap siang dan sore ia habiskan bersama 40-an murid, dan 3 orang guru lain. 

Pada saat panen bengkuang dan tabungan dan membakar gamping membuat Tarmidi ingin membeli kursi rotan. 

Kebahagiaan polos khas seorang anak yang ia begitu gembira bisa duduk di depan pick up, samping supir, Ayahnya membeli 5 kursi dan 1 meja, serta kotak radio yang dibawanya. 

Ketika kebahagiaan itu masih bertengger menjadi kebanggaan, tapi saat itu Najib memiliki TV dan anak-anak berbondong-bondong menonton di televisi Najib. Semula Ulid senang lalu sedih karena anak-anak lain menunggu-nunggu untuk nonton bareng...  (dulu pernah ngalamin ini pulang ke desa di Jawa lalu tetangga-tetangga pada ke rumah Nenek karena ingin nonton film Tersanjung. Dulu tidak semua orang punya TV hihi).

Kejadian yang bikin gempar adalah karena Ulid terlalu sayang dengan radionya. Ia mendengar cerita sandiwara 7 seri, ia dengar berturut-turut hingga pagi hari tidak tidur karena hanya sandiwara radio. 

Tak ada lagi radio, ucapan Kaswati membuat Ulid marah, bahkan minggat di rumah, lalu kembali ke rumah akhirnya Emaknya marah besar. 

sinopsis novel ulid


Ulid juga mogok sekolah karena ia merasa sudah pintar dan di sekolah negeri pagi bisa langsung naik ke kelas 2. Akan tetapi tidak bisa seperti itu, meski Ulid sudah ikut sekolah sore, ia harus berurut sekolah dari kelas 1 di sekolah negeri. 

Baca juga: Romansa Cinta Mif dan Fauzia dalam Novel Kambing Hujan

Yang istimewa saat Pak Hafid, kepala sekolah SD dan Bu Sri sampai datang ke rumah Tarmidi untuk menengok Ulid serta membawakan sepasang sepatu, sebuah baju batik sekolah dan beberapa buku tulis baru. 

Dan alangkah terpukulnya Tarmidi, Ulid karena alasan ia mogok sekolah adalah ia tidak berangkat sekolah karena tidak memiliki sepatu dan tidak dapat membayar iuran baju batik. 

Sastra profetik yang di dalamnya menjelaskan pula ayat-ayat tentang Allah selalu menyertai orang yang sabar (halaman 133) 

Di kampungnya ada orang-orang yang merantau ke Malaysia dan membelikan anaknya sepeda yang bagus-bagus. Saat itu Tarmidi memberi Ulid kambing. Ulid heran mengapa harus kambing? 

Karena Tarmidi melihat Ulid terlalu banyak bermain, maka memberikannya amanah untuk merawat kambing. Teman-temannya menghibur Ulid bahwa kambing bisa beranak, dan memelihara kambing bisa dapat uang. 

"Sebelum membimbing umatnya, para Nabi lebih dulu menggembalakan kambing," kata Mas Kunan, guru mengajinya, yang dulu adalah murid bapaknya. 

"Mungkin benar. Hampir semua nabi memelihara kambing. Mulai Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Yakub, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Isa, hingga Nabi Muhammad, semua adalah penggembala kambing. Kambing adalah binatang peliharaan para nabi. Kambing adalah binatang istimewa di hadapan Allah. Sapi, semut, tawon, kuda, gajah boleh jadi nama surat dalam Al Quran. Tapi kambing disebut di begitu banyak surat. Ingat itu, Lid." Ulid menghibur dan meyakinkan diri sendiri. (halaman 147) 

Kehidupan Ulid dari ia seorang diri anak pertama kemudian menjadi seorang kakak dari Ahmad Isnaini Ansyori, dan Imran. Juga Nisa, bayi, anak perempuan. 

Kebahagiaan Ulid mesti diakhiri saat kambingnya akan dipakai untuk aqiqah. Hahaha. Sedih banget susah payah untuk menyukai kambing, udah suka kambingnya harus dilepas. Tapi ada perkara yang lebih besar dari itu, Tarmidi berangkat ke Malaysia bersama 17 orang Lerok. 

Pada saat anak ke-4 lahir, Tarmidi berangkat ke Malaysia mengadu nasib disana.

Novel setebal 523 halaman ini. 

Kelucuan saat membaca novel ini membuat saya tersenyum-senyum. Saat batin seorang kakak yang tertekan melihat adiknya cepat belajar dan yang kecil membuang kelereng. Ulid menjadi Kakak--pengasuh adik-adiknya selama ibunya bekerja. 


DATA BUKU 

Judul: Ulid Sebuah Novel 

Penulis: Mahfud Ikhwan 

Cetakan: Ketiga, 2021 

Penerbit: Shira Media 

Tebal: 526 halaman 

ISBN: 978-602-7760-35-6

No comments