Novel Kuntowijoyo "PASAR" |
Meski ditulis pada tahun 70-an, buku ini dapat dinikmati saat ini. Kontennya masih aktual, membahas apa yang terjadi di pasar sehari-hari. Kuntowijoyo dapat menuliskannya apik, bahasa mudah dicerna, menarik dan nyastra. Cerita berkisar konflik antar pedagang dan tukang karcis, diawali dengan percakapan Pak Mantri yang meledak-ledak pada Paijo— mendengar ocehan, kutukan, dan lain sebagainya, diterima dengan tabah oleh Paijo.
Membaca buku ini masih renyah disajikan saat ini di era tahun 2000-an. Novel “Pasar” milik Kuntowijoyo diawali dengan setting dan detail pasar saat itu.
Baca juga: Ulama Penulis dan Kiprahnya dalam Peradaban Islam
Hari masih pagi di pasar itu. matahari kuning kemerahan, berbinar-binar menyentuh gumpalan-gumpalan daun asam di atas los-los pasar. Di bawah pohon-pohon asam itu masih dingin. Los-los pasar dari besi dengan atap yang lumutan berjajar sepi. Sedikit saja orang. Mereka membuka bungkus-bungkus dagangan menggelarnya di lantai, di bawah los-los pagar atau di emper, atau di jalanan. (hlm 2)
Pasar itu dilingkari dengan pagar kawat berduri, tonggak-tonggak beton, dan pohonan krangkungan setinggi orang. Kawat-kawat berduri itu telah karatan, putus di sana sini, mengendor memberi jalan, dapat dikatakan pagar itu tidak lagi berguna. Sebagian besar pohon krangkungan rebah ke tanah. Tak ada lagi perbaikan. Sesungguhnya pasar itu tidak lagi sanggup berbuat apa-apa untuk mendadani diri. Hanya satu hal yang tetap megah: tiang-tiang bangunan di sekitar kantor pasar. Setiap pagi sangkar-sangkar burung bergantung di situ. Di selatan pasar, ada patok-patok dan jalur besi untuk menambatkan hewan di hari pasar. (hlm 3-4)
Sudut pandang memakai sudut pandang orang ketiga. Tokoh yang ada dalam novel yakni Pak Mantri, Paijo, dan Siti Zaitun. Saat membaca buku ini kita dapat membayangkan burung-burung dara yang selalu terbang di dekat pasar dan membuat Siti Zaitun kesal sebab kotoran-kotoran burung dara berceceran juga di dekat kantornya di Bank.
Konflik pertama saat pedagang tidak mau bayar karcis karena merasa dirugikan. Burung dara mencocok beras dan laba mereka habis dimakan burung dara. Di sisi lain, Kasan Ngali membuat sebuah tempat berteduh bagi para pedagang yang kekurangan tempat di pasar.
“Benar-benar Kasan Ngali ingin menyaingi pasar yang sah. Lebih bersih, lebih strategis. Tidak bayar karcis.” (hlm 114)
Dan Paijo secara tidak langsung datang untuk selamatan pasar baru. Kasan Ngali telah merugikan pasar yang dipegangnya. Para pedagang pindah ke tempat Kasan Ngali.
Kuntowijoyo dapat memainkan emosi pembaca, ketika Paijo tetap harus menarik uang dari pasar dan mendapat ancaman akan dipecat dari kerja, sementara Kasan Ngali menjanjikan pekerjaan untuknya seandainya terpaksa berhenti dari kerja di pasar.
Di sisi lain, Siti Zaitun juga kesal karena sebab burung dara, Pak Mantri dan Paijo selalu menjadi sasaran kemarahannya, sebab nasabah bank pun jadi jarang yang datang untuk menabung.
“Burung-burung itu menimbulkan keributan. Hanya untuk dipersilahkan sebagai terdakwa ia tak mau.” (hlm 40)
“Ada baiknya kalau Bank Pasar itu tak laku. Mungkin musim kemarau, belum panen, dagang rugi, atau apalagi. Siti Zaitun akan dibayar juga meskipun tidak ada kerja. Paling-paling, kalau ia dianggap tidak ada kerja. Paling-paling, kalau ia dianggap tak cakap, dipindahkan. Ini bagus. Ia harus menungu orang menabung, menjaga Bank itu sampai siang dan pulang. Bank itu tidak memberikan kredit.” (hlm 29)
Penempatan bank pada era 70-an dengan sekarang sangat jauh berbeda. Jika di tahun 70-an fungsi bank dikhususkan hanya untuk menabung –dan hanya sedikit yang memberikan kredit, sekarang bisa difungsikan banyak, menjadi pemberi utang, kartu kredit yang semua dapat dengan mudah tinggal gesek, bisa untuk KPR rumah, mobil, ataupun menabung pensiun, haji atau umrah ada program bank. Bank laris manis didatangi nasabah.
Konflik menjadi makin tajam saat Kasan Ngali membuat kantor Bank Kredit, namun sehari dibuka kantor Bank Kredit diperkenankannya mengantri hanya untuk beberapa orang saja. Bank Kredit dengan pembayaran cicilan dan bunga yang rendah untuk menolong usaha rakyat kecil.
Novel menjadi bukti rekam jejak sejarah bangsa dan buku pada saat itu tentu menjadi hiburan tersendiri, pada masa itu, ketika tahun 70-an bersaing dengan radio dan televisi.
Dalam novel ini alur yang dipakai adalah alur maju diceritakan tentang situasi pasar, konflik yang ada di pasar, kita akan terhanyut dan dibarengi dengan kata bijak yang tak luput dari penulisnya.
“Sekarang ini orang mengatakan zaman maju. Tetapi apakah kemajuan itu? Majunya akal? Majunya kemewahan? Orang bilang dapat menguasai alam. Siapakah yang bisa mengatakan telah dapat menguasai dirinya? kebanyakan kita masih dikuasai oleh nafsu. Betul, nafsu itu adalah bagian kita yang tak terpisahkan, tetapi hendaknya ia kita kuasai. Perang? Keonaran? Perkelahian? Dengki? Srei? Jail? Methakil? Itulah nafsu. Itulah nafsu. Nafsu mesti tunduk pada akal, dan akal mesti tunduk kepada rasa.” (hlm 163)
Bagaimana Pak Mantri mengembalikan wibawa pasar dan orang-orang mau membayar uang karcis? Selamat menyelami novel ini lebih dalam! []
Deskripsi buku
No comments