Membaca karya A.A Navis menunjukkan lokalitas desa yang kuat. Bercerita tentang Sutan Duano yang memiliki perbedaan pemikiran karena sudah berusia lanjut namun ia lebih memilih bekerja keras selain beribadah mahdah. Jadi bukan beribadah melulu saja, tapi juga menyertainya dengan bekerja.
Setting akhir pendudukan Jepang, tokoh Sutan Duano datang dan tinggal di surau. Hal yang menarik karena ia meladangi sawahnya dengan mengangkut air dari danau ke sawahnya setiap hari, padahal saat itu musim kemarau.
Setiap pagi dan setiap sore para petani selalu memandang langit, ingin tahu apakah hujan akan turun atau tidak. Tapi, langit selalu cerah di siang, dan alangkah gemerlapnya di malam hari dengan bintang-bintang. Dan setelah tanah sawah mulai merekah, mulailah mereka berpikir. Ada beberapa orang pergi ke dukun, dukun yang terkenal bisa menangkis dan menurunkan hujan. Tapi, dukun itu tak juga bisa berbuat apa-apa setelah setumpukan sabut kelapa dipanggangnya bersama sekepal kemenyan. Hanya asap tebal yang mengepul di sekitar rumah dukun itu terbang ke sawah bersama mantranya. Dan setelah tak juga keramat dukun itu memberi hasil, barulah mereka ingat pada Tuhan.
Baca juga: Resensi Buku: Kabut Negeri Si Dali - A.A Navis
Mereka pergilah setiap malam ke masjid mengadakan ratib, mengadakan sembahyang kaul meminta hujan. Tapi, hujan tak kunjung turun juga. Ketika rengkahan tanah di sawah sudah sebesar betis, rumput-rumput dan belukar sudah menguning, sampailah putus asa ke puncaknya. Lalu, mereka lemparkan pikirannya dari sawah, hujan setetes pun tak mereka harapkan lagi. Sebab meskipun hujan akan turun juga saat itu, taklah ada gunanya bagi sawah mereka. Dan untuk membunuh rasa putus asa, mereka lebih suka domino atau main kartu di lepau-lepau.
Jika orang-orang lebih banyak berdoa meminta hujan di musim kemarau, Sutan Duano berikhtiar mengangkut air danau ke sawahnya setiap pagi dan sore hari.
Sawah-sawah sudah mulai kering dan matahari masih terus bersinar dengan maraknya tanpa gangguan awan sebondong pun, diambilnya sekerat bambu. Lalu disandangnya di kedua ujung bambu itu. Dan dua belek minyak tanah digantungkannya di kedua ujung bambu itu. Diambilnya air ke danau dan ditumpahkannya ke sawahnya. Ia mulai dari subuh dan berhenti pada jam sembilan pagi. Lalu dimulainya lagi sesudah asar, dan berhenti pada waktu magrib hampir tiba. Dan beberapa kali angkut tak dilupakannya mengisi kedua kolam ikannya. Untungnya sawahnya yang luas itu tak begitu jauh dari tepi danau. Laki-laki itu bernama Sutan Duano. (hlm 2)
Pikirannya tersebut tidak memengaruhi para warga desa. Meski setiap pengajian Sutan Duano menganjurkan dan mengajak warga desa menyirami sawahnya masing-masing, mereka lebih memilih untuk banyak beralasan.
Sutan Duano mengajak Acin, anak desa dan mendidiknya dengan banyak hal. Banyak berinteraksi dengan Acin membuat Sutan Duano semakin sayang kepadanya. Sutan Duano pun bekerjasama dengan Acin untuk menyiramkan air ke sawah Acin di pagi hari, dan ke sawah Sutan Duano di sore hari.
"Acin," katanya pelan-pelan dan dengan suara yang basah. "Aku ingin kau jadi orang. Orang yang berjuang dalam merebut kemenangan. Aku tak ingin kau jadi orang yang menyerah. Aku ingin kau jadi orang yang gesit. Aku ingin kau jadi orang yang mampu menentang kesulitan. Itulah sebabnya aku ajak engkau mengangkut air dari danau. Tuhan telah memberikan kemarau yang panjang. Tapi, Tuhan juga telah memberikan kita air sedanau penuh. Maka, kita tak boleh menyia-nyiakan pemberian Tuhan." (halaman 57)
Keduanya bersepakat dan tidak ingkar janji. Sampai suatu ketika timbullah gosip bahwa Sutan Duano mengincar Gudam, ibu dari Acin. Gudam adalah seorang janda beranak dua. Perbincangan tersebut tentu mengganggu Gudam, dan membuatnya sempat bertanya-tanya apakah ada niatan hati Sutan Duano menikahinya.
Dalam kumpulan cerpen ini nilai-nilai dakwah begitu kental rasanya. "Kalau Tuhan punya mau, memang tak seorang pun yang kuasa menghalanginya. Itu adalah takdir-Nya. Tapi, ada dua macam takdir. Takdir dan takdir yang diiringi dengan ikhtiar." (hlm 21)
Sutan Duano memiliki karakter keras, tegas, tetap pada pendirian, dan memiliki pergantian karakter yang cukup drastis. Dalam buku diketahui Sutan Duano telah insaf, dulunya beliau setelah menikah dan istrinya meninggal, ia jadi sering kawin cerai, hingga puncaknya ia tinggal di surau dan memiliki kehidupan di surau.
Di desa, dari semula tak memiliki apa-apa, Sutan Duano memiliki sawah, kemudian hasil usahanya membuahkan hasil, dan menjadi lirikan warga desa. Warga desa menjadi menaruh hormat pada Sutan Duano. Tak jarang mereka menyampaikan permasalahan dan meminta bantuan kepada Sutan Duano. Kebanyakan berkaitan dengan finansial.
Selain itu penulisnya A.A Navis pandai menggambarkan latar setting pedesaan terlebih seperti judul bukunya yakni Kemarau, A.A Navis lihai mengolah kata-kata sehingga nuansa kemarau pun seperti nyaris terasa sampai ketika dibaca oleh pembaca. Terlebih bagi penduduk yang tinggal dengan mata pencaharian bertani, hujan adalah hal yang sangat dinantikan.
Musim kemarau di masa itu sangatlah panjangnya. Hingga sawah-sawah jadi rusak. Tanahnya rengkah sebesar lengan. Rumpun padi jadi kerdil dan menguning sebelum padinya terbit. (hlm 1)
Cerita mulai mencapai puncaknya ketika Sutan Duano mendapatkan surat dari Masri, anaknya yang terpisah hampir 20 tahun dengannya. Dalam poskar ada gambar seorang laki-laki bersama istri dan sepasang anaknya. Hal tersebut menggemparkan warga desa pasalnya mereka banyak mengira kalau Sutan Duano adalah bujangan tua.
Tapi dengan datangnya surat dari Surabaya kemudian Kutar membocorkannya pada rakyat desa, maka hal tersebut menggegerkan desa bahwa Sutan Duano akan pergi ke Surabaya.
Puncaknya, saat Acin sakit, Sutan Duano ingin sekali membantu mengobati perawatan Acin sampai harus ke Bukit tinggi pun tak mengapa Namun hal tersebut ditentang oleh Gudam sebagai ibunya, karena menganggap Acin adalah anaknya. Akhirnya Acin mendapat perawatan terbaik. Acin sakit kena tetanus.
Hal itu membuat Sutan Duano sungguh gundah tak bersemangat. Baru diketahui kalau Sarinah menanamkan sesuatu di bawah rumah Gudam. Hal tersebut mungkinlah adalah jimat untuk mengguna-guna Acin jadi pesakitan.
Akhirnya Sarinah pun mengakui perbuatannya. Dan alasan mengapa seperti itu. Karena merasa iri terhadap Gudam. Karena keduanya sama-sama janda, mengapa Sutan Duano memilih Gudam. Padahal yang dicintainya adalah anaknya saja.
Kemudian Acin sembuh. Gudam bernazar akan mengadakan syukuran atas kesembuhan Acin. Selanjutnya orang-orang menanyakan dimana Sutan Duano, Gudam mengatakan kalau Sutan Duano tidak datang ke acara tersebut. Banyak yang berharap Sutan Duano datang.
Hingga Gudam memberanikan diri datang kepada Sutan Duano. Sutan Duano berprinsip tidak akan datang. Meski Gudam sudah memohon-mohon, akhirnya Gudam pulang dengan dongkol hati. Malah seperti ngawur bicaranya.
Di perjalanan pulang Gudam dan Sarinah bertengkar hebat hingga keduanya saling tarik, jambak, dan sebagainya. Kemudian dilerai.
Selanjutnya Sutan Duano pun memutuskan pergi ke Surabaya dan hendak berpamitan dengan Acin. Namun sampai di rumah Gudam, Sutan Duano pun menyampaikan segala uneg-uneg di hatinya, tentang kegagalannya dalam menjalani berkali-kali pernikahan yang membuatnya takut dan trauma.
Hal tersebut melorotkan hati Gudam. Sutan Duano ingin bertemu Acin tapi tidak bisa. Akhirnya Sutan Duano pun menyatakan akan memberikan semua hartanya kepada Acin. Gudam merasa semakin bersalah saja ketika ditengoknya Sutan Duano sudah pergi.
Acin bertanya siapa yang datang. Lalu Gudam memberi tahu kalau Sutan Duano sudah pergi ke Surabaya. Acin mengejar ngejar sampai jauh semakin menyayat hati Gudam.
Sesampainya di Surabaya, Sutan Duano bertemu dengan Iyah, mertua dari Masri, anaknya. Namun ia begitu mengenal baik Sutan Duano padahal Sutan Duano lupa. Terjadilah perbincangan panjang dan membuat kaget Sutan Duano karena Iyah adalah istrinya dulu pernah Sutan Duano usir, dan saat itu sedang hamil.
Dan anaknya tumbuh dewasa bernama Arni kemudian menikah dengan Masri, anak Sutan Duano. Pernikahan saudara sekandung termasuk haram dalam agama, incest. Sutan Duano bersikeras memberi tahu kepada anaknya. Namun hal tersebut dilarang Iyah. Namun karena Sutan Duano terus bersikeras, Iyah mengambil kayu dan memukul-mukulkan terus kepada Sutan Duano.
Penutup dari cerpen A.A Navis membuat saya semakin berkesan dan salut kepada beliau. A.A Navis adalah penulis yang lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 17 November 1924. Karya fenomenal lainnya adalah Robohnya Surau Kami (1956) yang mengisahkan tokoh Kakek Garin dan seperti yang Sapardi Djoko Damono katakan bahwa cerita tersebut merupakan sindiran yang luar biasa tajamnya terhadap pelaksanaan kehidupan beragama.
Hal tersebut dituliskan kembali dalam buku “Kemarau” ini memberikan warna tersendiri tentang hakikat beragama dan tetap berikhtiar dalam menghadapi kehidupan untuk tetap berusaha dan bekerja keras. Di tahun 1988 Navis menerima Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Deskripsi buku
Judul: Kemarau
Penulis: A.A Navis
Cetakan: I, Juli 2018
Penerbit: : PT Grasindo
Tebal: 162 halaman
ISBN: 978-602-050-353-0
Alhamdulillah tulisan ini dimuat Ahad, 16 September 2018 di koran Tribun Jabar
No comments