Novel Anak Rantau A. Fuadi |
Sedikit orang tua yang berani meminta anaknya untuk tinggal di kampung. Sekolah dan tinggal di kampung. Sering orang tua saya pun bila menakut-nakuti adik karena tidak menurut akan disekolahkan di Jawa. Adik paling bungsu saya lalu bersungut-sungut kesal dan berjanji akan jadi lebih nakal nantinya karena merasa 'dibuang' istilahnya. -Padahal Ayah pun tak benar-benar serius.
Sedikit orang tua yang berani menempatkan anaknya untuk tinggal di kampung. Sekolah di kampung dan bergaul di kampung. Sering orang tua di kota akhirnya mereka ‘bersama dengan anak’ tapi tak pernah bersama-sama, karena tuntutan zaman pula, jika tak memerhatikan sedikit, anak bisa jadi salah arah.
Novel Anak Rantau merupakan populer yang renyah, diksi yang memikat, lokalitas Minang yang dominan, diantara kekhasan cerita anak kota yang akhirnya merantau ke desa orang tuanya.
A.Fuadi tak seperti cerita di Negeri 5 Menara, di buku Anak Rantau ini membahas anak nakal yaitu Hepi yang hobi membolos sekolah, malas belajar, dan mengejutkan Martiaz, Ayahnya sendiri karena kelakuan anaknya itulah rapor kosong tak ada nilai di rapor. Tak ada yang ditulis oleh wali kelas satu pun.
Mata Martiaz mengerjap cepat beberapa kali, tidak percaya dengan pendengarannya. Bagaimana mungkin anak cerdas ini tidak naik kelas dan diusir dari sekolah? Apalagi setahun terakhir dia merasa lebih keras mendisiplinkan Hepi. Dengan mata berpijar kesal, dia mencari anaknya yang berusia 15 tahun itu. Hepi yang tinggi berisi tampak menyendiri di bawah tiang bendera, "Awas kamu, Nak," bisiknya. Di detik gelombang marahnya berpusar kencang, saat itu pula sebuah ide membiak di kepalanya. (hlm 9)
Martiaz yang kesal oleh ulah anaknya yang tak pernah memberi kabar atau surat orang tua kepadanya agar ia datang ke sekolah. Tak ada yang dikatakannya, surat pun dibuang semua oleh Hepi.
Selain membawa Hepi pulang ke rumah Kakek Neneknya di Minang, ada perasaan bersalah menelusupi hatinya karena sudah lama tak pulang.
Bagi Martiaz ini pun menjadi tempat bertemunya ia kembali dengan kampung halaman yang sudah lama ditinggalkannya.
Martiaz membuka jendela bus dan membiarkan angin menerbangkan rambut gondrongnya. Lantas pelan-pelan dia menutup mata, menciumi udara, dan menjulurkan lidah sedikit, seperti komodo purba membaui Pulau Rinca dengan lidah sulurnya. Berbagai aroma tercium: bau batang padi yang baru disabit, aroma udara yang manis yang membumbung dari cengkih, dan kulit manis yang dijemur di atas aspal begitu saja.
Dia sibak rambutnya dan dia cangkupkan tangan untuk mendengar apa yang hendak dibisikkan oleh kampung padanya. Desiran angin segar yang mengalir dari bukit barisan, kecipak halus dari lunas biduk yang membelah air Danau Talago dan suara obrolan dengan logat Minang yang berat menerpanya. Semua kenangan masa kecil menghambur silih berganti. Dia benar sudah sampai di kampung halaman, di bibir danau tempat kelahirannya. Dia baru insyaf ternyata pulang kali ini begitu berarti, karena dia pernah benar-benar pergi. (hlm 17)
Martiaz bertekad agar Hepi dapat tinggal bersama Kakek Neneknya sebagai bentuk pertanggung jawaban Hepi karena tak serius bersekolah. Hepi merasa senang karena bisa menengok kampung halaman Ayahnya yang sangat ingin diketahuinya sejak kecil.
Setiap Hepi menampakkan muka di lapau, Mak Tuo Ros tersenyum lebar dan mengajak dia ke balik bufetnya.
"Piliah aa nan katuju di wa'ang." Pilih apa yang kamu suka." Di dalam bufet kaca itu piring-piring disusun bertingkat ke atas, berisi aneka makanan berat dan ringan yang menebarkan rupa-rupa bau yang merembeskan air liurnya. Yang ringan ada ketan, lemang tiga rupa, pisang goreng, emping dadiah, wajik, dan pinyaram. Adapun lauk adalah rendang dengan kentang sebesar gundu, dan serbaneka gulai seperti kepala kakap yang berenang-renang di kuah santan kuning, gulai cancang, gulai hijau ikan danau, gulai rebung, dan gulai paku. Ada pula sebelanga sambal merah dan sepasu sambal hijau yang wangi meruap-ruap. Nasinya wangi, berbentuk biji kurus runcing yang tidak lunak tidak keras. (hlm 46)
Namun itu hanya kesenangan sesaat karena Hepi benar-benar ditinggalkan di rantau. Sementara Ayahnya pergi balik ke Jakarta mengurusi percetakannya yang ditinggalkannya seminggu dan Dora, putri sulungnya sudah meminta Ayahnya segera pulang.
Ayah berbalik sejenak. Dengan mata merah dan tajam, dia menghardik Hepi, "Laki-laki itu harus berani menanggung perbuatan sendiri. Jangan seenaknya bolos sekolah. Setiap kelakuan ada risikonya. Sekarang rasakan dulu hukuman kamu. Kalau memang mau ke Jakarta, boleh, tapi beli tiket sendiri kalau mampu." (hlm 54)
Ilustrasi sampul buku yang 'ngenes' karena di ilustrasi cover Hepi tampak sangat terpukul, ia ditinggalkan bis di hadapannya sementara baju-baju bertebaran dari kopernya. Disini Zen dan Attar memandang sedih dan prihatin karena Hepi ditinggal Ayahnya -padahal Hepi saat liburan seminggu tampak semangat dan kemarin saat pamit pulang telah memberikan mainan terbaiknya yang awalnya ia pikir mudah beli lagi di Jakarta.
Zen dan Attar hendak menghiburnya, namun Hepi kesal berlipat-lipat. Ia pun bertekad akan pulang ke Jakarta dengan uang sendiri.
Suspens menarik yakni pembaca dibuat tertarik dengan cerita Datuk yang ingin menghidupkan ‘surau’ dan bagaimana kerepotannya Datuk dengan kelakuan cucunya yang kalau bukan ingin menebus kesalahan masa lalunya; ia mencoba bersabar.
Sepanjang ingatan Datuk, amplop terus beterbangan dengan lancar di kantornya, menyelip di antara surat dan dokumen, menyelusup masuk lewat bawah pintu, lubang angin, bahkan lubang kunci untuk mencapai saku-saku mereka. Bukan sekali dua kali Salisah bertanya asal muasal amplop-amplop wangi ini, yang selalu dia akui sebagai bonus bekerja bagus. Karena pertanyaan penuh selidik istrinya tidak pernah berhenti, dia tak lagi memberikan amplop ke tangan istrinya. Dia kumpulkan saja uang itu sendiri, ditabung, dan akhirnya sebagian menjadi usaha karamba.
Hal itu berjalan berpuluh-puluh tahun sampai baru akhir-akhir ini dia tahu amplop itu namanya gratifikasi, yang berarti tindak kriminal yang boleh diburu badan pemberantasan korupsi yang baru berdiri di Jakarta. Namun di daerah seperti di kampungnya, praktik rasuah ini terus berlaku dengan aman sentosa. Aturan nasional belum tentu berlaku di daerah, dan aparat pusat tidak sempat mengurus kasus-kasus kecil di daerah. (hlm 120)
Petualangan Hepi semakin seru saja di kampung karena ia bisa merasakan hidup sebenarnya dan mengubah sifat dan sikapnya kala di kota.
Demi bisa pulang ke Jakarta dengan pesawat –sesuai tekadnya, Hepi mau bersusah-susah membantu Mak Tuo Ros meski lebih banyak apa yang ia makan, dibanding uang yang ia dapat dari mencuci piring, membantu menyiapkan sajian makanan pada tamu.
Ia pun rajin sekolah karena Kakeknya sering memantau ke kelasnya meyakinkan bahwa cucunya tidak membolos di sekolah.
Ia lama-lama akhirnya tampak bersemangat bersekolah karena dilibatkan oleh Ibu Ibet dalam aktivitas menjaga perpustakaan dan ia pun dapat lebih dekat dengan Puti, gadis pujaan hatinya.
Dalam sehari-hari pun Hepi selalu memiliki rasa penasaran yang tinggi dan ingin menghancurkan mitos tentang anggapan orang-orang tentang Pandekar Luko. Puncaknya ia kesal karena surau pun ikut dicuri (termasuk tabungan bambu miliknya yang ia kumpulkan dengan susah payah).
Akankah Hepi dapat menemukan pelakunya? Bagaimana Hepi membayar kekesalannya? Terlebih sejak tertangkapnya pencuri, mulai terendus narkoba telah merambah ke Kampung Tanjung Durian dan mulai harus diberantas demi menyelamatkan anak bangsa.
Dapatkah Hepi mengumpulkan uang kembali untuk ditabungnya untuk tiket pulang ke Jakarta? Apakah yang terucap dari bibirnya ketika bertemu dengan Martiaz, Ayahnya yang ia kesal padanya sekaligus ia rindukan? []
Novel Anak Rantau
Penulis : A. Fuadi
Cetakan : Ke-2, Agustus 2017
Penerbit : PT Falcon, Jakarta
Tebal : 382 halaman
ISBN : 978-602-60514-9-3
No comments