Oleh Sri Al Hidayati
Sudah beberapa hari ini telah terjadi gencatan senjata antara aku dan Ayah. Kami bahkan tak bertegur sapa. Diantara sekian ketidakakuran antara aku dan Ayah, inilah yang paling lama dan tak kunjung usai. “Sepertinya aku harus mengalah,” batinku.
*
Bagiku kebahagiaan bukan diukur oleh banyaknya harta. Bagiku kebahagiaan adalah kasih sayang dan merasa cukup atas rezeki yang Allah berikan.Kuberjalan pulang sambil memandangi pohon-pohon rindang yang basah karena hujan pagi tadi. Aku melangkahkan kaki dengan hati-hati khawatir terpeleset.
Ku ingat kata-kata Raisa, “kamu beruntung punya Ayah…” membuatku merenung. Awal tahun ini Raisa telah kehilangan Ayahnya karena penyakit diabetes.
Hari-harinya kini terasa sepi karena biasanya ada yang selalu membuatnya bahagia meski Ayahnya sibuk dinas ke luar kota. Ada yang selalu mengiriminya pulsa, dan setiap Raisa perlu uang, Ayahnya selalu memberinya, seperti minta uang untuk makanan binatang kesayangannya, Cathy.
“Sepertinya aku harus mengalah,” batinku.
Ayah di mataku saat aku baru lahir
Aku lahir ke dunia saat Ayah masih terlelap di rumah, dan ibu di Rumah Sakit berjuang sendirian. Aku tak menyalahkan Ayahku yang tidak menunggu Ibu melahirkan di Rumah Sakit, karena aku tahu Ayah berjuang mencari uang biaya untuk kehidupanku nanti.
Tak ada yang menemani Ibu di Rumah Sakit, karena Kakek dan Nenek jauh berada di Jawa, sementara Ayah Ibuku merantau ke Bandung.
Saat Ayah tiba ke Rumah Sakit, dan melihatku yang telah lahir di samping Ibu, Ayah adzan di telingaku dan mulai saat itu aku menjadi permata hati baginya.
Ayah di mataku saat berusia 5 tahun
Aku berangkat ke TK sendirian, tanpa ditemani Ayah ataupun Ibu. Ayah berjualan baso berkeliling komplek dan Ibu menunggu warung di rumah, dan menjaga adik kecilku yang berusia 6 bulan di rumah. Aku menengok kanan dan kiri, aku langsung berlari khawatir ada kendaraan yang lewat. Aku sangat senang sekolah karena bisa bertemu banyak teman dan bermain ayunan, jungkat-jungkit, dan sebagainya. Aku juga pernah memimpin doa saat TK akan dimulai.
Ayah di mataku saat berusia 7 tahun
Temanku di kelas sedang berulang tahun, dan aku telah membawa kado untuknya. Senang sekali bisa merayakan ulang tahun di sekolah. Kalau aku tidak usah dirayakan. Kata Ayah kalau ulang tahun cukup disyukuri saja sudah cukup. Ulang tahun untuk mengingatkan kita agar bersyukur masih diberikan kesehatan.
Ayah di mataku saat aku berusia 10 tahun
Aku ke sekolah membawa makanan untuk dijual. Aku cukup senang karena daganganku seperti stik balado, keripik singkong laku keras di kelas. Ibu berkata ini mengajarkanku untuk berusaha. Ayah dan Ibu mengajarkanku agar tak semua yang kuinginkan, harus dipenuhi. Sesuatu yang benar-benar dibutuhkan baru dibeli. Kalau masih ada yang lama dan bagus, tidak usah beli yang baru.
Aku ingin handphone seperti teman-temanku yang lain. Aku teringat pada Ayah, kalau ingin sesuatu, menabung. Akhirnya aku menabung. Dari menabung, aku kumpulkan dan membeli handphone meski tak handphone keluaran terbaru alias second. Aku senang punya handphone. Ayahku berkata agar aku berhati-hati saat membawa handphone, karena kalau tidak hati-hati, milik kita bisa dicuri.
Ayah di mataku saat berusia 12 tahun
Sebentar lagi aku akan menginjak bangku SMP, kata guru di sekolah, untuk daftar ke SMP mau kolektif atau mandiri? Saat kutanyakan pada Ayah, Ayah bilang, “nanti saja Ayah yang antar.”
Tak menyangka aku masuk dalam sekolah pilihan pertama. Masih ingat saat aku mendaftar ke SMP dan masuk hari pertama sekolah, Ayah mengantarku ke sekolah. Beberapa tahun kemudian aku menyadari bahwa itu menjadi pengalaman yang paling berkesan bagiku, karena Ayah mengantarku ke sekolah.
Ayah di mataku saat berusia 15 tahun
Saat mendaftar ke SMA, aku diantar oleh Ayah, Ibu dan adik-adikku dengan mobil. Aku sangat senang karena sekolah SMA ku begitu besar dan luas dibandingkan dengan SMPku. Tak ada yang tahu beberapa tahun kemudian, aku menikah dengan laki-laki satu almamaterku di SMA ini.
Saat acara bagi rapot dan pertemuan orang tua, Ayah tak banyak ikut dalam pertemuan sekolah karena sibuk dengan bisniss. Ibu mewakili mengambil rapot sejak aku SD. Tapi hal itu seharusnya tak harus dipermasalahkan karena teman-temanku yang lain pun banyak yang rapotnya diambil oleh ibu, bukan Ayah. Yang terpenting Ayah selalu ada saat aku membutuhkan. Ayah melindungi dan mengayomi kami, anak-anaknya.
Ayah di mataku saat berusia 19 tahun
Hari kelulusan di SMA telah lewat. Ayah dan Ibu tak memaksakanku untuk masuk jurusan favorit atau jurusan tertentu. Semua diserahkan kepadaku sesuai dengan minatku, dan akhirnya ujian SNMPTN telah berhasil kulewati dan masuk Perguruan Tinggi Negeri di Bandung. Aku sangat bahagia.
Ayah di mataku saat berusia 22 tahun
Proposal skripsi yang telah dicoret-coret berulang kali, akhirnya berhasil lanjut ke Bab 2. Karena semangat, kukerjakan sampai bab 3. Ayah sejak aku SMP protective terhadap hubungan pacaran. Ayah selalu bilang kalau di usianya 20 tahun, dia sudah menikah, sedangkan aku di usia 22 tahun belum punya calon.
“Sekarang fokusku adalah skripsi,” batinku.
*
Sepanjang perjalanan ke rumah, kuingat-ingat kebaikan Ayah. Tak terhitung banyaknya kebaikan yang Ayah lakukan. Membesarkan aku dari kecil, dan aku menyakiti hatinya. Tak salah jika aku mengalah karena Ayah telah beruban, tentunya Ayah kembali lagi seperti anak kecil, seperti kata orang kebanyakan.Di mataku, Ayah tetap menjadi seorang yang harus ditaati. Jalan yang ia tunjukkan adalah jalan menuju Surga.
Kuseka air mataku. “Maafkan anakmu, Ayah.”
Kuucapkan salam, membuka pintu rumah, dan kulangkahkan kaki. Telah ada Ayah disana. Aku bersalaman dengannya, memohon maaf karena sering membuat hatinya terluka. Ayah diam, dan matanya berkaca-kaca.
Hujan ini mengingatkanku pada hujan tiga tahun yang lalu. Kini aku telah dikaruniai seorang putri yang cantik berusia satu tahun. Aku menikah dengan teman satu SMA.
Yang paling berat bagi seorang Ayah adalah melepas putrinya di hari pernikahan dua tahun yang lalu. Aku melihat ada gurat kesedihan, terharu dari wajahnya.
Seorang Ayah melepas putrinya, menyerahkan pada suami, dan mengharapkan yang terbaik untuk putrinya. Ayah tidak memiliki beban apa-apa lagi atas putrinya karena pemimpinnya telah berpindah kepada suami. Itulah alasan istri harus taat pada suami.
Ayah tetaplah Ayah di hati seorang anaknya. Ayah, doakan putrimu menjadi putri kebanggaan di hatimu.***
masih aktif kah blog ini
ReplyDelete