Jangan percaya dengan ingatan Anda. Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.
(mbak intan savitri)
Beberapa bulan yang lalu, 1 Juli 2018 diselenggarakan event Taman Penulis FLP Jawa Barat sesi 2 dan salah satu acaranya diisi oleh pemateri Mbak Intan Savitri (Dewan Pertimbangan FLP dan pernah menjadi Ketua FLP Pusat tahun 2009-2013) yang dikenal dengan panggilan Mbak Ije.
Mbak Intan Savitri |
Baca juga: Kamisan FLP Bandung Spesial edisi Festival Muslimah Indonesia
Secara makna, Budidaya berarti budi dan daya. Budi adalah cara berpikir atau cara tingkah laku.
Makna lebih luasnya budidaya adalah:
1. Set of believe bukan karena believe, tapi karena praktis. Peradaban berarti cara beradab.
2. A way of life. Bagi Islam, teman adalah teman yang belum berteman.
Berlanjut pemaparan dari beliau yakni saat ini ekonomi mainstreamnya sekarang neo-kapitalis. Dalam Islam sendiri saat ini modelnya kemaslahatan ummat, dan ada prinsip NON-Ribawi. Bank konvensional mengklaim dirinya non-ribawi.
Berada di Islam belajar nilai-nilai kemanusiaan. Sejak jauh hari peradaban Turki Utsmani memimpin, namun orang Barat ingin maju juga. Sehingga yang terpikir oleh mereka adalah, "Bolehlah kamu yang buat aljabar. Tapi kami yang mengembangkannya." Ucap Mbak Ije.
Di sisi sastra, sastra islam diterima oleh kita dan FLP sudah mengazamkan di jalur sastra.
Apa sumber peradaban islam?
Yakni Al Quran dan hadits.
Apa pondasi peradaban Islam?
Pondasinya Tauhid rukun iman, rukun islam, sirah, akhlak.
Apa yang Islam punya untuk menggambarkan peradaban?
Islam punya membaca dan ilmu.
Nah untuk kita yang bergiat di dunia literasi,
Punyakah project baca buku?
Punyakah project menulis?
Apakah kita sudah membaca benar dan istiqamah?
Apa kita sudah membiasakan membaca dan menuliskannya kembali? Mengapa harus?
Karena ia akan lebih lekat di kepala. Tradisi itu yang nampak hilang di kalangan muslim.
Mbak Ije kemudian bercerita tentang perjuangannya untuk menulis satu jurnal memerlukan 3-6 bulan penelitian dan hanya dihargai 3-4 juta. Padahal penelitiannya udah mati-matian. Jika menulis novel, atau karya fiksi mungkin terasa mudah, ini kalau jurnal susahnya minta ampun untuk di publish.
Bagaimana baca yang benar?
Yakni baca-review-publish
Jangan percaya dengan ingatan Anda. Ikatlah ilmu dengan menuliskannya. (mbak intan savitri) kalau hutang piutang saja mesti ditulis, apalagi hutang harus ditulis agar tidak lupa (QS 2).
Baca juga: Membaca, Menulis dan Menginspirasi
Mbak Ije juga pernah melakukan penelitian jadi adakah perbedaan menulis imajinatif dengan realis dan pengaruhnya dengan reduce stress penulisnya, maka ketika diukur stressnya, nulis hal yang imajinatif (kisah diimajinatifkan) dengan yang realis. Sebenarnya dua-duanya reduce stressnya, tapi ternyata lebih reduce yang imajinatif. Sehingga menulis imajinatif lebih reduce stress dibandingkan yang realis.
Membaca terganggu dengan sosmed
Ujar Mbak Ije lagi bahwa baginya membaca sangat terganggu dengan social media. Dan rasanya hati lebih tenang ketika jauh dari sosmed. Sebenarnya internet membantu kita, tapi dengan adanya sosmed kita jadi sibuk dengan dunia orang lain. Akhirnya kita lupa berhenti scroll.
Punya jadwal rutin untuk membaca dan menulis
Sutardji Calzum, AA Navis sehari-harinya baca, nulis, review dan punya jadwal rutin baca dan nulis yang istiqamah. Dan mereka pakai baju necis sudah rapi ya seperti mau bekerja kantor saja kalau mau nulis.
Dulu ketika lahir Ayat-Ayat Cinta itu karena kang abik (Habiburahman el Shirazy) kakinya patah dan harus mengalami 2-3 bulan kaki patah. Selama kurun waktu itu ia menulis, dan sesuatu yang tak disengaja hingga malah hal tersebut melambungkan namanya dan mengenalkan sastra islam kepada
masyarakat.
Sudahkah kita mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan disiplin ilmu kita?
"Hidup sukses pintar tidak juga kok, hidup sukses butuh konsisten." (Mbak ije)
MasyaaAllah...
ReplyDelete