Haji Hasan Mustopa berasal dari keluarga pesantren sekaligus keluarga yang akrab dengan seni budaya Sunda. Beliau merupakan tokoh tasawuf sekaligus sastrawan yang mencurahkan seluruh perasaan batinnya lewat bait-bait puisi atau guritan.
Dari Wiwi Siti Sajaroh, mahasiswa FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2013), tulisannya mengulas Haji Hasan Mustapa dan sebagian karya-karyanya. Seperti berikut yang saya kutip:
Tadi aing nu kapahung
Tilu puluh taun leuwih
Dina rasaning kadunyan
Beurat birit salah indit
Ayeuna di walagrina
Indit birit mawa bibit
Artinya:
Barusan aku yang tersesat
Tiga puluh tahun lebih
Dalam perasaan keduniaan
Malas karena salah pergi
Sekarang merasakan bahagianya
Pergi membawa benih
Dalam syair di atas menggambarkan penyesalan seorang hamba kepada Tuhannya karena telah tersesat atau tak memiliki tujuan hidup selama tiga puluh tahun lebih. Kemudian merasa bahagia karena telah berubah dan telah membawa bibit (hasil).
Kesan membaca syair ini:
Merasa surprise karena jarang sekali membaca tulisan berbahasa Sunda. Termenung dengan syair tersebut dan jadi evaluasi diri, sudah berapa lamakah hidup di dunia? Sudah cukupkah bibit yang kita bawa? Apakah aku tersesat selama ini? Ingin mendekat dan selalu dekat dengan-Nya.Puguh angklung ngadu
angklung
Bisa uni teu jeung awi
Balukarna lalamunan
Mun hiji misah ti hiji
Ngan kari pada capétang
Ngawayangkeun abdi Gusti
Artinya:
Jelas angklung mengadu angklung
Bisa bunyi (indah) dengan bambu
Sebabnya dari lamunan
Kalau yang satu pisah dari yang satu
Cuma sekadar pandai berbicara
Dalam syair di atas, Haji Hasan Mustopa menggunakan benda sebagai metafor. Angklung termasuk alat kesenian Sunda dan saat digunakan terdapat keharmonian saat alat musik tersebut dimainkan. Terdapat penegasan agar tak sekadar pandai berbicara, namun dilaksanakannya. Terdapat doa dan harapan seorang hamba kepada Tuhannya.
No comments