Seorang perwira memberi intruksi tegas kepada syaikh, “Tidak boleh ada suara! Tidak boleh ada ucapan bela sungkawa! Dan tidak boleh ada orang lain yang mengurus mayat ini! Hanya engkau dan keluarga rumah ini yang boleh mengurus jenazah. Tepat pukul Sembilan pagi harus sudah siap dikuburkan!”
Meski kesedihan menyayat hati dan usia yang sudah senja, namun mengusap darah di sekujur tubuh putranya. Darah yang mengucur dari luka-luka bekas rentetan tembakan timah panas yang merobek tubuhnya.
Pagi harinya, para perwira datang sesuai waktu yang telah ditentukan. Mereka berkata kepada syaikh, “Bawalah anakmu untuk dikubur!”
Syaikh tua renta yang usianya Sembilan puluh lebih itu berkata dengan keras, “Bagaimana aku akan membawanya? Silakan para tentara membawanya!”
Para perwira tidak menggubris permintaan itu, bahkan mereka membentak, “Keluargamu yang membawa! Cepat!”
Padahal sang jenazah hanya memiliki beberapa anak perempuan dan satu anak lelaki yang masih kecil. Akhirnya jenazah diusung oleh istri dan putri-putrinya serta hanya diantar oleh ayah kandungnya. Tiada seorang pun berani mengantarnya sebab penjara akan menjadi ganjaran bagi siapa saja yang nekat melanggar ancaman itu. Yah, walau sekadar mengantar mayat ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Ketika jenazah sampai di masjid, ternyata masjid sudah dikosongkan, hingga pengurus masjid pun tidak ada. Sang ayah menshalatkan putranya bersama anggota keluarga yang semuanya wanita. Kemudian, menguburkannya tanpa bantuan orang lain. Setelah semuanya selesai, seluruh anggota keluarga pulang dengan penjagaan super ketat.
Beberapa tetangga ditangkap dan dijebloskan ke penjara hanya gara-gara mengucapkan ungkapan belasungkawa atas kepergian seorang anggota masyarakatnya.
Penjagaan ketat terhadap rumah tetap berlangsung, karena khawatir terjadi pemberontakan dari orang-orang yang datang untuk turut berduka cita. Kuburnya pun dijaga ketat, karena takut ada yang membongkar kubur dan mengeluarkan jenazah untuk membuktikan kejahatan pemerintah. Bahkan, para polisi menyebar untuk menginstruksikan penutupan masjid setelah shalat wajib, karena takut ada seseorang yang berani melakukan shalat ghaib pada yang telah meninggal.
Itulah akhir kehidupan sosok sederhana, Hasan Al Banna. Namanya sesuai dengan usahanya, dia adalah pembangun izzah islam.
*
Zaman berlalu, kaum muslimin tetap berada dalam ketertindasan dan keterbelakangan. Moral Islam telah melayang dari kehidupan umat. Sementara itu, arus jahiliyyah semakin menyebar seperti kaki-kaki gurita yang menjangkau setiap pelosok bumi. Bahkan, kondisi kaum muslimin semakin tersingkirkan dengan musibah baru yakni runtuhnya khilafah islamiyah pada 1924.
Saat itu, usia Al Banna masih sangat muda. Anak yang telah hafal Al Quran sejak usia dini ini telah merasakan pedihnya penderitaan yang dirasakan kaum muslimin. Ia mulai berpikir mengembalikan izzah mereka sebagai manusia pilihan. Ia mulai meneliti masalah, memetakan secara jelas dan menyusun alpabetis penyelesaiannya dalam kerangka strategis yang tepat.
Usianya baru 22 tahun, ketika ia mendirikan organisasi perjuangan, Ikhwanul Muslimin. Melalui gerakan dakwah inilah kerja besarnya dimulai. Al Banna mengawali dengan langkah-langkah yang dianggap oleh sebagian orang sebagai usaha yang biasa dan remeh. Ia mengkonsentrasikan kerja dalam takwinu sakhsiyyah islamiyah (usaha membentuk kader muslim yang handal).
Ia dengan sabar menapaki jalan ini, menebarkan dakwah Islam secara menyeluruh dalam bentuk halaqah-halaqah kecil. Dalam dasawarsa kedua sejak Ikhwanul Muslimin berdiri, Mesir telah riuh dengan gaung kebangkitan. Kader-kader Ikhwan benar-benar telah menjadi ruh baru yang mengalir pada jasad umat. Setiap pojok Mesir telah tersibghah (tercelup) dengan kader ikhwan.
Dari sebuah gerakan kader, ikhwan telah berubah menjadi gerakan massa massif yang mampu menggetarkan Mesir. Ikhwanul Muslimin telah memberi inspirasi pada gerakan dakwah Negara-negara sekitarnya. Bahkan, ikhwan telah menjadi miniature Negara. Ikhwan telah mengelola proyek-proyek peradaban seperti industry, lembaga pendidikan, mendirikan rumah sakit, klub olahraga, lembaga riset, forum ilmiah, dan lainnya. Semuanya dikelola dalam kerja professional dan memberikan pelayanan yang memuaskan bagi umat. Dalam gerakannya, Ikhwan telah mengintegrasikan empat kekuatan sekaligus: kuatnya konsep, militansi kader, soliditas massa, dan rapinya organisasi.
Dalam waktu yang baru dua tahun saja, Hamilton Gibb, seorang orientalis Inggris mengatakan bahwa dia tidak dapat membuat analisis yang meyakinkan tentang gerakan Ikhwan pada masa selanjutnya. Tetapi, insting orientalisnya membisikkan dengan kuat bahwa kelak organisasi kecil yang dipimpin oleh seorang gurus SD itu akan menjadi ancaman besar bagi kepentingan Inggris di koloninya. Maka, ia merekomendasikan agar organisasi itu diawasi dengan ketat.
Ternyata, semuanya menjadi terbukti. Inggris yang bercokol di Mesir kemudian benar-benar merasa terancam. Maka, hanya belasan tahun sejak ia mendirikan Ikhwan, Inggris berkesimpulan bulat untuk mengakhiri kehidupan sang tokoh, Hasan Al Banna. Pada tahun 1948, timah-timah panas menerjang tubuh Mursyid ikhwan itu, ia pun menemukan syahidnya.
Ketika para pengikutnya ditangkap dan dijebloskan dalam penjara, Hasan Al Banna dibiarkan tetap bebas. Ini memang telah direncanakan, sebuah scenario pembunuhan. Dalam perjalanan pulang ke rumah dari kantor ikhwan, di tengah perjalanan tiba-tiba lampu penerang jalan padam. Ia pun keluar dari mobil yang ditumpanginya, saat itulah peluru berhamburan menembus tubuhnya. Dalam kondisi terluka parah, ia dapat sampai rumah sakit. Akan tetapi, tak ada perawat atau pun dokter jaga yang berani memberikan pertolongan. Semua diam tak bergerak, karena diancam militer pemerintah. Mereka membiarkan Hasan Al Banna terbunuh!
Allah memang mencintai hamba-Nya untuk menemui dalam momen yang paling mulia, mati di jalan-Nya. Hasan Al Banna syahid dalam usia 42 tahun, sebuah usia yang masih sangat muda. Tetapi, syahidnya Al Banna tidak lantas mematikan gerakan dakwah yang dirintisnya. Dalam perjuangannya yang singkat itu, Al Banna telah menyiapkan perangkat strategis untuk terus mendenyutkan nafas gerakan dakwahnya. Ia diakui sebagai pribadi dengan kemampuan menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk aktivitas (kerja dan karya tulis) yang sangat gemilang.
Namun, sejak semula ia telah mengatakan bahwa ia tak hendak menciptakan buku. Tujuannya adalah menciptakan kader. Obsesi Hasan Al Banna telah terbukti, kematiannya telah melahirkan beribu-ribu kader handal.
Sumber : Buku Teladan Tarbiyah dalam Bingkai Arkanul Baiah.
No comments