Review buku: Haruskah Dakwah Merambah Kekuasaan?
Oleh Khozin Abu Faqih
Jakarta, Al I’tishom, 2009
Buku yang ditulis oleh Khozin Abu Faqih, diawali dengan melihat dari sisi bahwa manusia mempunyai potensi baik atau buruk. Kemudian beliau mengutip perkataan Imam Hasan Al Banna dalam risalah “ila ayi syaiin nad’un naas” bahwa sesungguhnya kebangkitan semua umat bermula dari kelemahan, dimana orang yang melihat menganggap bahwa mencapai apa yang mereka inginkan adalah bentuk kemustahilan. Namun catatan sejarah mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran, keteguhan, kearifan dan ketenangan dalam melangkah, dapat mengantarkan umat dari kebangkitan yang awalnya lemah dan sedikit sarana, menuju puncak kesuksesan yang diinginkan para aktivisnya.
Penulisnya Ustadz Khozin memberi contoh, bahwa siapa yang percaya awalnya bahwa jazirah Arab yang gersang dan kering kerontang itu akan memancarkan seberkas cahaya dan keilmuan, serta dapat menguasai Negara terbesar di dunia melalui kekuatan spiritual dan politik para pengikutnya?
Siapa yang menyangka jika Shalahudin Al Ayubi mampu bertahan bertahun-tahun hingga berhasil mengusir Eropa dalam keadaan hina, sekalipun perlengkapan mereka lengkap dan jumlah mereka jauh lebih banyak hingga 25 raja dari kerajaan-kerajaan besar bersatu menyerangnya?
Siapa yang menyangka kalau Raja Abdul Azis Ali Su’ud yang diasingkan, keluarganya diusir, dan kerajaannya dirampas, akhirnya dapat mengembalikan kerajaannya hanya dengan 20 orang lebih. Kemudian kerajaannya menjadi salah satu harapan dunia Islam untuk mengembalikan kejayaannya dan menghidupkan persatuannya.
Kekuasaan dapat merealisir berbagaii manfaat yang dapat menghanyutkan pemegangnya ke lautan laknat. Tetapi membenci kekuasaan mengantar umat pada kehinaan dan akhirnya dikuasai musuhnya. “Sesungguhnya Allah mencegah sesuatu dengan kekuasaan, yang tidak dapat dicegah dengan Al Quran.” (Utsman bin Affan)
Ada sebuah hadits yang menyatakan jika ada tiga orang keluar untuk bepergian, hendaklah mengangkat seseorang dari mereka menjadi pemimpin. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada cekcok dan lebih teratur. Terlebih dalam sebuah Negara, lembaga atau organisasi tidak dianjurkan memiliki dua pemimpin karena akan kacau dan kehidupan semrawut.
Islam diturunkan untuk menjaga lima hal penting yang menjadi hak asasi manusia, yaitu agama, jiwa, kehormatan, harta dan akal. Dari kelima hal tersebut akan menjadi terlantar jika Islam tidak mempunyai kekuasaan.
Pada saat Islam mempunyai kekuasaan, maka orang tidak akan berani melecehkan agama dalam bentuk apapun. Pada saat umat Islam mempunyai kekuasaan, nyawa muslim bahkan non muslim sangat berharga, sehingga orang tidak mudah mengalirkan darah.
Jika lima kebutuhan dasar manusia tidak mendapat perlindungan, maka kekacauan terjadi dimana-mana. Kesengsaraan akan mewabah, kekuatan menyebar dan akhirnya masyarakat berjalan menuju kehancuran.
Lantas Ustadz Khozin menulis bahwa kekuasaan dapat melindungi orang yang didzalimi, agar mendapat jaminan keamanan, sehingga agama, jiwa, kehormatan, harta dan akalnya tidak diganggu oleh orang-orang zalim. Jika tidak ada kekuasaan, maka kehidupan manusia seperti ikan di lautan, atau seperti ikan di lautan, atau seperti binatang di hutan dimana yang besar dan kuat akan memangsa yang lebih kecil dan lemah.
Para ulama menyimpulkan bahwa kekuasaan Islam harus ditegakkan untuk mencapai 4 tujuan, yaitu:
- Mewujudkan rasa aman, sehingga masyarakat tidak merasa ketakutan, sebab kejahatan akan mendapat imbalan yang setimpal,
- Menegakkan keadilan sehingga kezaliman dapat diminimalisir atau dihilangkan dari muka bumi,
- Mewujudkan kemakmuran, sehingga tidak ada masyarakat yang kelaparan tanpa pertolongan, sakit tanpa pengobatan dan miskin tanpa bantuan,
- Membimbing manusia untuk menghambakan diri kepada Allah semata, serta menegakkan syariat-Nya. Dan tujuan inilah yang terpenting, sebab tiada gunanya rasa aman, keadilan dan kemakmuran, jika nantinya akan mendapat siksa di hari kiamat.
Jika orang-orang baik tidak berusaha merebut kepemimpinan, berarti mereka membiarkan pengikut kerusakan memimpin suatu komunitas, maka tersebarlah kerusakan di muka bumi, seperti yang pernah diperankan oleh Fir’aun dan penguasa-penguasa jahat lainnya.
Rasulullah saw. berdoa kepada Allah Swt. memohon kekuasaan seperti yang tercantum dalam QS Al Isra ayat 80, “Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.”
Doa ini terjadi saat kaum musyrikin berupaya mengusir Rasulullah saw. dari Mekkah. Doa Rasulullah saw. adalah untuk menghentikan kezaliman dan kesewang-wenangan kaum Musyrikin Quraisy. Dan tidak ada yang dapat menghentikannya selain kekuasaan yang adil dan bijaksana.
Allah Swt. menyebut orang-orang yang Kami teguhkan kedudukan mereka dengan kekuasaan (QS Al Hajj: 4), banyak cara atau manfaat dalam mendukung kebaikan untuk agama, yakni :
- Penegakkan shalat yang menjadi lambing tegaknya Islam
- Pendukung utama penunaian zakat untuk kaum miskin dan yang tidak mampu (QS At Taubah: 103)
- Memerintahkan segala yang makruf, mengkoordinir segala potensi positif konstruktif di tengah masyarakat
- Mencegah dari segala bentuk kemungkaran, meminimalisir kemaksiatan, memerangi kerusakan, dan lainnya.
Selain itu manusia yang paling dicintai dan paling dekat dengan Allah Swt. pada hari kiamat adalah pemimpin yang adil. (HR Turmudzi dari Abu Said ra.), dan yang paling penting adalah imam yang adil dan tidak ditolak doanya (doanya maqbul). (HR Ahmad)
Oleh karena itu, ketika seseorang hendak memegang jabatan penting, jangan hanya memikirkan risiko atau tanggung jawab yang dipikul, hingga merasa takut dan berat memegang amanah tersebut, tetapi hendaknya berupaya sebisa mungkin mengantisipasi serta meminimalisir risiko, kemudian bertawakkal kepada Allah Swt. dan ingat pahala yang disediakan oleh-Nya, bagi yang menunaikan kepemimpinan sebagaimana mestinya.
Apa Rasulullah saw. pernah menolak kekuasaan? Jawabnya Ya. Karena pada saat kaum Quraisy menawarkan hal tersebut kepada Rasulullah saw. tetapi juga menawarkan kekayaan dan kompensasinya, Rasulullah saw. harus berhenti berdakwah dan mengikuti keinginan mereka, sehingga kekuasaan tidak mempunyai pengaruh pada perubahan, tetapi hanya formalitas untuk menghentikan dakwah Islam.
Ciri pemerintahan Islam
Diantara ciri-ciri pemerintahan Islam adalah rasa tanggung jawab, kasih sayang kepada rakyat, adil terhadap semua orang, menjaga diri dalam menggunakan harta Negara (tidak menggunakannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok dan ekonomis dalam penggunaannya).
Di antara kewajibannya adalah menjaga keamanan, melaksanakan undang-undang, menyebarluaskan pengajaran, menyiapkan kekuatan, memelihara kesehatan, melindungi kepentingan-kepentingan umum, mengembangkan kekayaan alam, menjaga harta kekayaan, mengokohkan moralitas dan menebarkan dakwah.
Di antara hak-haknya bila ia menunaikan kewajibannya adalah loyalitas dan ketaatan, serta bantuan harta dan tenaga (jiwa). Akan tetapi jika ia mengabaikan kewajibannya, maka ia berhak mendapat nasihat dan bimbingan, lalu bila tidak ada perubahan, maka wajibnya pemecatan dan dikucilkan.
Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam mendurhakai Allah Swt. dan semakin bagus kualitas penghambaan suatu penduduk, maka semakin nyata kemakmurannya. (QS Al A’raf, 96)
Rasulullah saw. memberi teladan kepada pemimpin tentang kepedulian terhadap yang dipimpinnya. Seseorang telah melakukan amal secara itqan (professional), jika telah memunaikan tugas secara akurat, komitmen dengan kaidah maupun teknis tertentu, disiplin waktu, dan berpikir untuk mengembangkan kerja menuju yang lebih baik, sehingga tidak statis.
Seshalih apapun seorang pemimpin, maka potensi menyimpang tetap ada. Sebab syetan tidak akan pernah tingal diam untuk menggelincirkan manusia. Jika dia pemimpin orang-orang shalih, maka syetan yang akan menggodanya pun para pimpinan syetan.
Oleh karena itu, seorang pemimpin harus lebih aktif untuk membina diri dengan tarbiyah dzatiyah, lebih sering mendengar nasihat-nasihat dari orang shalih, dan lebih butuh pada doa-doa tulus dari kaum muslimin. Semakin luas wilayah kekuasaan seseorang, maka kebutuhannya terhadap hal-hal tersebut semakin tinggi.
Jika kita menjumpai kekeliruan dari para pemimpin, maka hendaklah ditutupi dan dinasihati. Jangan malah disebarkan kepada orang lain. Sebab menutupi aib muslim itu suatu keutamaan, apalagi aib pemimpin yang akan mempunyai dampak yang luas.
Riwayat Ubadah bin Shamit ra, “Kami berbaiat untuk mendengar dan taat dalam keadaan bersemangat, tidak suka, sulit, mudah, atau sedang dianaktirikan. Juga tidak menentang pimpinan, kecuali jika melihat kekufuran yang jelas ada bukti dari Allah Swt.” (HR Bukhari)
Jangan menunggu terjadinya perubahan dengan hadirnya seorang pemimpin, tetapi ciptakanlah perubahan. Jika masing-masing orang berupaya melakukan perubahan, maka pemimpin ideal akan lahir dari proses tersebut.
*menuju Aksi Damai 4 Nov 2016
tulisan ini dimuat juga di website http://alhikmah.co/2016/04/14/haruskah-dakwah-merambah-kekuasaan-1/
No comments