Sri Al Hidayati
KISAH bermula dari pencarian jati diri Borno, 22 tahun, bujang dengan hati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas. Sesudah lulus SMA memutuskan bekerja. Sebulan lulus SMA, ia sibuk melamar pekerjaan. Pabrik pengelolaan karet di tepian Kapuas menerimanya.
Kalian pernah datang ke pengelolaan karet? Pekerjaan di sana sebenarnya mudah, bal-bal karet hasil sadapan petani bercampur cuka dikirim ke pabrik lewat perahu-perahu. Jauh sekali perahu kayu berhiliran dari kebun penduduk di hulu Kapuas. Lantas mesin pabrik akan mengolahnya menjadi lembaran tipis belasan meter. Lembaran itu dikeringkan menjuntai dari atap gudang tinggi-tinggi bagai menjemur kain selendang, diangin-anginkan. Setelah kering, lembaran karet dimasukkan ke dalam kontainer, diangkut truk besar, dibawa ke pelabuhan, menuju pabrik berikutnya.
Bau, itulah hal paling memberatkan bekerja di pabrik karet. Hasil sadapan bercampur cukanya saja sudah bau, apalagi setelah diolah, lebih bau. Radius ratusan meter sudah menyengat, dan aku sialnya persis berada di hadapannya. Masker kain tiga lapis tidak mempan, partikel bau itu menusuk membuat tersengal. Maka seragam oranye itu tidak ada gagah-gagahnya lagi ketika aku pulang. (halaman 20-21)
Kemudian setelah 6 bulan Borno bekerja, ia terkena PHK. Kemudian Borno mencari pekerjaan lagi. Atas keberuntungan menjawab pertanyaan—memecahkan masalah bau cipratan air karet, ia bekerja kemudian di dermaga Feri. “Pakai daun singkong, Pak. Daunnya diremukkan, lantas dipakai untuk mencuci tangan yang terkena cipratan air karet.”
Di atas kebahagiaannya telah bekerja di tempat baru, ia menjadi sasaran amukan Bang Togar. Bahkan selebaran dipampang di sudut-sudut kampung ditambah wajah Borno untuk tidak mengangkut Borno dalam sepit Togar dan kawan-kawan saat akan berangkat bekerja. Borno kecewa.
Aku harus segera memilih, berhenti bekerja dari pelampung itu atau, cepat atau lambat, seluruh penghuni gang sempit memusuhiku. (halaman 39)
Borno teringat dengan wasiat Bapak. “‘Borno, jangan pernah jadi pengemudi sepit.” Pak Tua kemudian memberi nasihat kepada Borno, “Jamak itu Borno. Lazim sekali seorang petani bilang ke anaknya, ‘Nak, jangan jadi petani, tidak bisa kaya.’ Seorang guru SD bilang ke anaknya, ‘Nak, jangan jadi guru, hidupnya susah, makan hati pula.’ Seorang kuli kasar bilang ke anaknya, ‘Nak, jangan pernah jadi kuli, keringat diperas, gaji tak memadai.’ Tetapi maksud mereka tidaklah demikian. Hakikat sejati pesan itu adalah agar kau jadi lebih baik....”(halaman 53)
Saat Borno sudah berhenti dari pekerjaannya, memutuskan menjadi pengemudi sepit, ia harus berhadapan dengan Bang Togar, ketua PPSKT dan ia mengalami masa orientasi berlebihan. Ia menghabiskan seminggu tiga kali sehari untuk membersihkan jamban di dermaga sepit, sebelum akhirnya berlatih mengemudi sepit. Borno termasuk anak yang pintar karena beberapa kali berlatih mengemudi sepit, ia mampu lihai.
Ia sempat kebingungan menjadi pengemudi sepit tapi tak punya sepit. Tapi untunglah Pak Tua rela meminjamkan sepit pada Borno asal setor karena meminjam sepit Pak Tua.
Di hari pertama membawa Sepit, Borno menjadi olok-olok Bang Togar atas kemampuannya, karena itu jadi saat perdananya membawa sepit. Sebenarnya penumpang sudah penuh di sepit, namun karena penjelasan Bang Togar, mereka ikut merasa khawatir dan turun dari sepit. Sampai akhirnya petugas timer meminta mereka naik lagi. Sepit berangkat dan sampai seberang dengan baik.
Tak disangka Bang Togar secara mengejutkan memberikan sepit (hasil urunan warga kampung) kepada Borno. Ternyata masa orientasinya berakhir. Borno merasa terharu. Sampai Borno dilemparkan ke permukaan Kapuas. Sepit Borno dinamakan Sepit Borneo.
Kemudian petugas timer memberitahu Borno kalau ada barang tertinggal di sepit yang pertama ia kemudikan. Borno melihat Angpau Merah. Setelah itu Borno menjaga surat itu, meski Andi, sahabat Borno penasaran ingin membukanya. Borno melarangnya. Borno berusaha mati-matian mencari gadis berbaju kuning yang terlihat seperti orang Cina saat menaiki sepitnya tadi, Borno berkesimpulan barang itu milik gadis itu. Sampai uang habis untuk membayar solar. Semua berubah saat Jupri bertanya padanya, “Apakah kau sudah dapat Angpau?”
Borno diam. Setelah Borno jauh mencari ternyata ada disini—mungkin seperti itu pikirnya, Di pojok dermaga, gadis itu tersenyum manis membagikan amplop yang sama pada pengemudi sepit dan pedagang di sekitar dermaga.
Dua hari terakhir aku keliru menebak. Ternyata amplop merah itu tidak penting. Aku menghela nafas panjang, balik kanan, hendak melangkah gontai menuju sepit, menunggu antrean.
“Abang mau terima angpau juga?” suara merdu itu menyapa.
Aku menoleh. “Eh? Kau memanggilku?” (halaman 95)
Mulailah Borno berpikir: gadis itu harus naik sepitku saat hendak menyeberang. Dari mulai terlalu cepat datang, selisih satu penumpang, sampai akhirnya ia menemukan jam yang tepat bila ia ingin gadis itu menaiki sepit Borno, yaitu di sepit urutan tiga belas, pukul 7.15.
Borno juga berusaha ingin mengobrol dengan gadis itu sampai sengaja melambat-lambatkan sepit saat di jalan. Dan gadis itu pun merasa aneh karena akhirnya selalu naik sepit Bang Borno, begitu panggilannya. Borno pun tahu akhirnya nama gadis itu Mei, yang sedang PPL mengajar di Pontianak.
Borno dan Mei menjadi teman yang baik, dan suatu saat Mei tidak datang saat Borno akan pergi mengantarnya ke Istana Kadariah. Kabarnya ia pulang ke Surabaya. Akhirnya kebiasaan Borno banyak berubah yang asalnya selalu mengantri di sepit nomor tiga belas, ia pun mengisi waktu lagi dengan belajar jadi montir di bengkel ayahnya Andi. Bakat Borno terhadap mesin membuat ayah Andi tertarik.
Cerita berlanjut dengan kepergian Pak Tua dan Borno ke Surabaya untuk menemani Pak Tua melakukan terapi di Surabaya. Perjuangan mencari Mei dengan menelepon dari buku telepon dan ternyata setelah dua hari berjuang, Mei di hadapannya dan mereka bertiga berkeliling Surabaya. Sempat bertemu Fulan Fulani, sahabat lama Pak Tua, pasangan buta yang hidup bahagia dan membuat haru Borno, begitupula Mei.
*
Membaca kisah Borno dan Mei, “Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah” (Gramedia, 2012) mengisahkan pengorbanan, percintaan dan keluarga. Sudut pandang novel ini ialah sudut pertama Borno. Suspens-suspen yang ada berkaitan dengan tokoh satu dengan yang lain. Alur maju mundur dimainkan secara menarik.
Semua kisah “Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah” berawal dari sini :
Umurku dua belas, duduk di lorong rumah sakit menangis sendirian terisak. Di ruangan berjarak sepuluh meter dariku, Bapak memutuskan menunaikan kebaikan terakhir. Aku selalu tahu—sebagaimana seluruh penduduk tepian Kapuas tahu—Bapak adalah orang baik yang pernah kukenal. Aku tidak tahu apakah ubur-ubur yang membuatnya meninggal atau pisau bedah dokter. (halaman 16)
Saat usia Borno 12 tahun, Borno harus kehilangan Bapak, karena Bapaknya telah mendonorkan jantungnya pada Ayah Sarah. Sarah kemudian diceritakan di dalam novel adalah seorang dokter gigi muda seusia Borno, tipikal perempuan yang cantik. Saat Andi sakit gigi, Pak Tua dan Borno menemani pergi ke dokter gigi. Akhirnya Sarah ingat dengan Pak Tua, teringat juga dengan Borno saat di lorong rumah sakit. Sarah sangat senang bertemu dengan Borno. Lama Sarah berusaha mencari dan tidak bertemu ujungnya, karena pihak keluarga Bapak Borno tidak mau diketahui yang telah menolong.
“Kau ingat, Abang, dini hari itu kau justru hendak mengusirku. Aku ingat sekali wajah kau, wajah sedih, tidak mengerti apa yang telah dilakukan bapak kau. Tahukah Abang, dini hari itu aku bersumpah apa pun yang terjadi pada bapakku, aku akan mencari kau, anak dari seseorang yang telah meminjamkan kehidupan pada bapakku. Ya Tuhan, setelah lama mencari.” (halaman 317).
Sarah kemudian mengundang Borno sekeluarga makan malam bersama. Selanjutnya pula Sarah dan keluarga besar datang ke rumah Ibu Borno. Ibu Sarah memeluk Borno dan berkata,
“Kau tahu, Nak,” wanita itu menyeka pipi, berlinang air mata,” suamiku bukan hanya menyaksikan anak-anak kami menikah, berkeluarga, melihat cucu-cucunya. Suamiku bahkan sempat menyaksikan Sarah menjadi dokter. Itu sungguh kebahagiaan terbesarnya. Terima kasih, Nak. Sungguh terima kasih”. (halaman 330)
Ternyata Mei pula berkaitan dalam hal ini. Mama Mei adalah dokter yang telah melakukan pendonoran jantung. Mama Mei sudah berbulan-bulan sakit karena memikirkan masa lalunya karena sudah menghabiskan usia seorang Bapak yang masih bisa diusahakannya (Mei baru tahu dari buku harian mamanya).
Mei merasa bersalah, alasan utama Mei menyengaja dari Surabaya pergi ke Kalimantan untuk melihat Borno, dan angpau yang ditinggalkan kali pertama saat Borno mengemudi sepit, ternyata bukanlah angpau biasa. Itu adalah surat dan baru dibaca Borno pada saat Mei pergi hampir setahun dari Surabaya. (Selengkapnya di halaman 499-502).
Setelah hampir setahun, Borno tahu dari Bibi Mei kalau Mei sudah hampir tiga bulan jatuh sakit. Ia kemudian berangkat ke Surabaya. Perasaan Borno tidak berubah saat tahu Mama Mei dahulu yang membuat tangis Borno di lorong begitu keras. 6 bulan kemudian Borno berkuliah dan bisnis Borno telah maju di jalan Sudirman, jalan paling besar di Pontianak. [ ]
Bandung, 5 Agustus 2012
No comments